Utuy Tatang Sontani |
Karyanya yang pertama adalah Tambera (versi bahasa Sunda 1937) sebuah novel sejarah yang berlangsung di Kepulauan Maluku pada abad ke-17. Novel ini pertama kali dimuat dalam koran daerah berbahasa Sunda Sipatahoenan dan Sinar Pasundan pada tahun yang sama. Setelah itu Utuy menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Orang-orang Sial (1951), yang diikuti oleh cerita-cerita lakonnya yang membuatnya terkenal. Lakon pertamanya (Suling dan Bunga Rumahmakan, 1948) ditulis sebagaimana lakon ditulis, tetapi selanjutnya ia menemukan cara menulis lakon yang unik, yang bentuknya seperti cerita yang enak dibaca.
Di antara lakon-lakonnya yang terkenal adalah Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak Kufur(1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).
Utuy diutus oleh pemerintah Indonesia pada 1958 sebagai salah seorang wakil Indonesia dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan. Ketika hubungan politik Indonesia-Uni Soviet semakin mesra, banyak karya pengarang Indonesia yang diterjemahkan dan diterbitkan ke dalam bahasa Rusia, termasuk karya Utuy, "Tambera", yang dianggap mencerminkan semangat revolusi dan perjuangan rakyat. Sementara itu, "Orang-Orang Sial", hanya terbit di Tallin, dalam bahasa Estonia, karena dianggap terlalu pesimistik dan hanya mengungkapkan sisi gelap revolusi.
Pada 1 Oktober 1965 Utuy bersama sejumlah pengarang dan wartawan Indonesia menghadiri perayaan 1 Oktober di Beijing atas undangan pemerintah Tiongkok. Pecahnya G30S pada 1965 di Indonesia membuat mereka terlunta-lunta di tanah asing. Kembali ke Indonesia berarti ditangkap dan dituduh terlibat G30S, seperti yang dialami oleh begitu banyak kawan mereka. Situasi mereka semakin sulit ketika di RRT sendiri pecah Revolusi Kebudayaan pada 1966. Sebagian orang Indonesia yang terdampar di Tiongkok akhirnya memutuskan untuk meninggalkan negara itu dan pergi ke Eropa Barat dengan menumpang kereta api Trans Siberia. Sebagian dari penumpang ini berhenti di Moskwa, termasuk Utuy dan sejumlah kawannya, Kuslan Budiman, Rusdi Hermain, dan Soerjana, wartawan Harian Rakjat.
Kedatangan Utuy di Moskwa pada 1971 disambut hangat oleh pemerintah Uni Soviet dan masyarakat ilmiah di sana, terutama karena nama Utuy sudah dikenal luas lewat karya-karyanya dan kehadirannya dalam Konferensi Pengarang Asia-Afrika pada 1958. Utuy diminta mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Moskwa dan sempat pula menghasilkan sejumlah karya tulis. Ia menyusun sekurang-kurangnya empat buah novel dan tiga otobiografi hingga ia wafat pada 1979 di Moskwa. Salah satu novelnya yang ditulisnya dan diterbitkan di Moskwa adalah Kolot Kolotok. Novel ini hanya dicetak terbatas untuk bahan studi di Jurusan Indonesia, Universitas Negara Moskwa. Di Bawah Langit Tak Berbintang adalah memoar dan otobiografinya yang mengisahkan pengalamannya hidup di pengasingan di RRT dan di Rusia.
Ketika ia meninggal, sebagai penghormatan nisannya ditempatkan sebagai nisan pertama di pemakaman Islam pertama di Moskwa.
Karya tulis
- Tambera (1948)
- Orang-orang Sial: sekumpulan tjerita tahun 1948-1950 (1951)
- Selamat Djalan Anak Kufur (1956)
- Si Kampeng (1964)
- Si Sapar: sebuah novelette tentang kehidupan penarik betjak di Djakarta (1964)
- Kolot Kolotok
- Di bawah langit tak berbintang (2001)
- Menuju Kamar Durhaka - kumpulan cerpen (2002)
Drama:
- Suling (1948)
- Bunga Rumah Makan: pertundjukan watak dalam satu babak (1948)
- Awal dan Mira: drama satu babak (1952)
- Sajang Ada Orang Lain (1954)
- Di Langit Ada Bintang (1955)
- Sang Kuriang: opera dua babak (1955)
- Si Kabajan: komedi dua babak (1959)
- Tak Pernah Mendjadi Tua (1963)
- Manusia Kota: empat buah drama (1961)
Selain ke dalam bahasa Rusia dan Estonia, karya-karya Utuy juga diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain, mis. bahasa Inggris, Mandarin, Tagalog, dll.
Di masa Orde Baru, sama seperti para penulis yang mendapatkan stigma komunis, karya-karya Utuy dilarang beredar oleh pemerintah.