Setiap butiran kata yang terucap dari lisan kita, kelak akan dipinta pertanggungjawabannya. Maka pergunakanlah dengan bijaksana.

Biang Gosip

“Wah.. Mobil doi ganti lagi, nich!!” Ungkap Yolane keganjenan saat melihat penampilan Daniel dengan JAGUAR merahnya yang diparkir di belakang sekolah.
“Gila!! Yang HARDTOP aja umurnya belum sempat seminggu. Sekarang ganti lagi,” decak kagum Serly setengah gatal-gatal.
“Eh, malah kemarin gue sempet dianter ke AMBASADOR pake MERCEDES MANNHEIM.” Tambah Elize.
“Sabtu kemarin aja, gue bareng doi ke Bukit Sentul pake FERRARI 512S Spesial. Gila, nggak?” Ratih tak mau kalah.
“Lah, gue lain lagi, nih. Malam minggu kemarin malah, doi ngajak gue ke Ancol naik HONDA CIVIC abu-abunya,” Shinta turut serta.
“Am ague LAMBORGHINI!”
“MAZDA.”
“BUGATTI lho.”
“Kalau gue BENZ silver.”
Survey membuktikan! Bahwa 80% dara kelas III-satu sudah pernah jalan bareng Daniel dengan mobil yang berbeda-beda. Dealer kali, ya?
Nanda cemberut berat. Bibirnya yang memang berskala jumbo itu terpaksa mesti dimusiumkan, layaknya oplet tua.
“Interupsi!! Wooooy….!”
Jeng, jeng! Semua mata beralih pandang. Menuju arah sumber suara. Gosip jeda sejenak. Kantin sunyi pekat. Tatapan mereka beradu.
Yolane hanya cengengesan saat bola mata sekantin menyorot penuh kepadanya. Gigi berkawatnya menjawab tatapan mereka.
“Perhatian, perhatian!! Manusia di sebelah kita, lagi depresi,” tegas Yolane sejurus kemudian seperti suara rekaman bioskop, “para penggosip yang telah kehabisan bahan, dipersilahkan menanyakan sebabnya.”
Nanda melotot gemas. Ditambahnya ukuran awal bibir itu beberapa senti. Terlebih saat telunjuk Yolane tepat menuding wajahnya.
“Apa-apaan, sich!” Nanda menepis tangan ramping Yolane ke samping, “Elo-elo tuh, pada norak tau nggak!!” Bentaknya kemudian. Lantas bergegas menuju kasir dan berlalu cepat kembali ke kelas.

***

Kasak-kusuk kelas III-satu begitu jelas di mata. Pak Rendra, guru kesenian yang sedang menerangkan materi abstraknya terpaksa harus dipending sementara, lantaran riuhnya.
“Ehmm..! Para siswa yang budiman. Dalam hal goresan, Affandi saja tidak mengajarkan seni menggosip. Zaini pun tidak pernah mencampur warnanya dengan isu. Begitu juga Sadali dan Basuki. Mereka belum pernah melukis diri mereka sendiri dalam sebentang kanvas tentang ihwal yang belum jelas juntrungannya.” Sindir Pak Rendra.
Para murid menyadarinya. Dipandang lekat ekspresi gurunya dengan senyum blo'on. Suasana mendadak kaku.
“Baiklah! Kita buat aliran baru. Bapak berikan waktu dua jam untuk mencurahkan gossip kalian dalam selembar, gunakan kain kanvas ini sebagai medianya.” Pak Rendra bergegas keluar kelas. Anak-anak dibuatnya tercengang polos.
Dua jam berlalu. Apa yang terjadi? Ruangan kelas III-satu terkesan seperti pameran otomotif. Para siswa berkreasi dengan sebentuk mobil yang pernah mereka naiki bersama Daniel. Kecuali siswa laki-laki dan..
“Nanda. Ini lukisan apa?” Tegur Pak Rendra menunjukkan selembar kanvas dengan campuran warna yang berbaur dengan bentuk bebas.
Anak-anak mencoba menterjemahkan dengan mengerahkan seluruh imajinasi polosnya. Tapi, mustahil!
“Benang kusut, Pak!” Jawab Yolane asal.
“Potret dirinya kali, Pak!” Ratih lebih asal.
“Mungkin lukisan pabrik cat.” Imbuh Eliza.
Para siswa tertawa mengejek. Hampir saja kawat logam yang menempel di gigi Yolane terlepas, saking girangnya.
Nanda mengankat bahu lalu mendenguskan nafasnya, sekeras banteng Spanyol di hadapan sang matador.
“Nanda?” Pak Rendra menagih jawaban Nanda.
“Ini lukisan gossip, Pak,” jawab Nanda menoleh kearah Yolane CS. “Lukisan ini menggambarkan mereka yang senang menggosip, Pak.” Nanda percaya diri.
Para siswi beradu pandang. Kalau saja pandangan itu terbuat dari kaca, pasti sudah pecah berkeping-keping. Terutama Yolane, Ratih dan Eliza. Mereka tersendak boomerang yang dilemparkannya sendiri.
Pak Rendra tersenyum puas. Ternyata ada juga salah satu muridnya yang sepaham.

***

“Elo kok jadi naïf banget sih, Nda?” Serobot Yolane, menyengajakan berjalan bereng dengan Nanda, sepulang sekolah.
“Iya. Dangdut banget, juga!” Cetus Ratih.
“Klasik banget!”
Nanda menangkap semua celoteh temannya. Bibir supernya menjawab dengan cibirnya over. Tak menggubris semua tudingan bernuansa aliran musik mereka.
“Heh…!” Yolane menepuk pundak kiri Nanda. “Elo sirik ya, sama kita-kita orang. Soalnya, elu belum pernah diajak naik mobil Daniel yang bejibun dan nyentrik itu, ya, kan?”
“Ho’oh, dasar! Ratih menepuk pundak kanannya dengan keras, “Makanya gaul, dong!”
Nanda menghentikan angkutan umum, Seakan akan memberikan jawaban atas apa yang ada di ditunggu oleh Yolane dan kawan-kawan. Lantas naik dengan santainya. Lagi-lagi tidak memperdulikan kicauan Yolane dan kawan-kawan.
“Eh.. mau kemana tuch anak..?? ko’ dia naik angkot sich!” Tanya Eliza kepada kawan-kawanya.
“Gak tau.. mau kemana?? yaudah kita ikutin aja mau kemana tuch anak!” Ajak Yolan
"Lo.. pada mau tau jawaban gue kan??" Jawab nanda meyakinkan mereka. "Yaudah ikutin gue!"
Mereka menyusul sigap mengikuti langkah Nanda. Seketika angkutan umum yang mereka naiki pun sudah seperti sekolah. Sesak dengan seragam Putih-abuabu.
“Aduhh, heyy..! Kita mau kemana sich!” Yolane menyempatkan duduk di sisi Nanda.
“Hooh, jawab, dong!” hardik Ratih saat tas megahnya menampar muka seorang penumpang tua, “Eh, maaf, pak eksiden dikit. He..he..he..”
“Gagu, ya.!” Sahut Eliza.
“Tau, nich!” Serly menambah lagi. Sikutnya mengerang ketika menyenggol jidat penumpang lain berkumis lebat.
Masih dengan kesan cueknya. Nanda mengetuk kaca… Tokk..tokk..tokk! Mobil berhenti total, Ciiittt..!! Bergegas Nanda turun tanpa membentuk ekspresi apapun. Menyisakan Tanya jawab di benak teman-temannya. Mereka menyusul.
“Lho, kok. Elo ngajak kita-kita kebengkel, sih?” Tanya Eliza sambil menepis-nepis asap knalpot dari mukanya.
“Tau, mau apa coba kesini.”
“Aduhhh.. bau karbit nich…! uhukk..uhukk..”
“Iiiihhh… banyak oli lagi.”
Nanda masih beku dengan ocehan sobatnya yang heterogen. Hingga langkahnya dihentikan tepat di depan sosok yang tidak asing bagi mereka.
Seonggok jasad lusuh, kumal, dekil, kucal. Menutup wajah handsomenya yang selama ini mereka gosipkan heboh.
Bola mata mereka berkumpul pada satu titik fokus. Membuat mereka setengah tidak percaya. Masa, sih? Begitu kata-kata bhatin itu terlontar di hati mereka.
“Hai, Daniel! Sorry gue ngeganggu kesibukan elo sebentar,” tegur Nanda, “anak-anak di kelas heboh saat ngeliat elo alpa hari ini. Mereka pikir elo sakit.”
“Eh, Nanda..” dihentikannya sejenak pekerjaannya seraya menepuk-nepuk kedua tangannya yang penuh dengan oli hitam. Lantas berdiri di depan JAGUAR merah yang sempat ia bawa kemarin ke sekolah, “Bujug! Kenapa geng Yolane CS lo bawa kemari semua?!” pekiknya kemudian menutupi malunya pada Yolane CS.
Ternyata semua tentang Daniel selama ini hanya bohong belaka. Mereka menahan diri di hadapan Nanda. Tak ada, seorang Daniel anak pengusaha otomotif. Daniel yang sering gonta-ganti mobil, dengan berbagai model dan tipe yang kompleks. Seorang Daniel yang necis, perlente dan menjadi kebanggan siswi III-satu karena kebiasaanya, menggonta-ganti mobil. Kini, hanyalah seorang pekerja bengkel yang lusuh, dekil dan kucal.
“Elo.. gawe di sini, Niel?” Yolane mengernyit.
“Eh… Ho..oh, Yol! Daniel tersipu kecut.
“Gue pikir… Elo. Elo itu, Borju.” Ungkap Eliza pelan, ketika mengucap kata Borju.
“Trus kenapa tadi elo gak masuk?” Nanda mengubah bahasan, “nggak sakit kan?”
“Iya, kenapa lo kagak masuk?” Yolane mengikuti.
Nanda menyikut Yolane lantaran mengikuti kata-katanya, beg! Yola meringis kecil.
“Gini, Nda. Gue tadi nggak bisa masuk, sebab yang punya JAGUAR ini nanti sore mau ngambil. Kemarin, pulang dari sekolah, gue nabrak gerobak bakso. Jadi, gini deh jadinya.” Jawab Daniel memelas.
Yolane dan kawan-kawan tertawa cengingisan mendengar penjelasan dari Daniel.
“Ha..ha..ha.. itu sich derita lo Niel!” Tegas Yolane mengejek
“Lagian mobil bagus-bagus lo tabrakin ke gerobak bakso, gak sekalian aja lo jadiin tetelan bakso!”
“Iya maafin gue.. selama ini udah ngebohongin kalian!” tegas Daniel
Yolane dan kawan-kawan hanya mengangguk seadanya. Daniel tertunduk malu. Yolane dan kawan-kawan tertipu dengan penampilan Daniel selama ini. Ternyata, ini yang sebenarnya terjadi. Nanda tersenyum.
“Oiya, Niel. Tadi di sekolah mereka ngegosipin pengalaman mereka, sama elo. Cuma, ada satu pengalaman yang belum pernah mereka coba.” Papar Nanda rileks.
“Elo jangan ngomong yang nggak-nggak deh. Maksud lo apaa, tuh ngomong gitu! Yolane menyiapkan bogemnya.
“Niel. Kata mereka tu, mereka belum pernah naik Metromini pribadi elo.” Jelas Nanda bergegas meninggalkan teman-temannya dengan langkah seribu.

Syairku adalah Tuhan

 Sastra kontemporer adalah sebuah penguraian naluriku yang tersusun atas dasar pengejawantahan mayapada secara berkesinambung. Lewat ungkapan, ku tegaskan arti perjalanan hidup yang kontemporer dengan cara yang ku anut. Secara sadar maupun tidak. Daya imajinasiku ini ternyata mampu ku jadikan acuan sebagai sumber inspirasi dalam mengembangkan aspirasiku demi membentuk jadi diri yang sebenarnya.
          Puja kepada 'Azza Wa jalla yang mengatur jagat Raya dengan sempurna hingga pada kesempatan ini ku masih mampu mengartikan segala kebesaranNya melalui hati dalam bahasa.
          Tak ada kata kata lagi yang dapat tersusun kecuali hanya berharap penuh agar ungkapan ini dapat berfungsi sebagaimana yang ku ingin, adalah menterjemah hidup yang fana untuk yang baka. Dengan segenap kerendahan hati yang tawadlu', ku akhiri ungkapan ini dengan tetap berpegang penuh pada ketentuan yang telah menjadi garis sunatullah wallahu a'lam bish shawab.
"Alhamdulillah.." gumanku sambil sesekali mereguk kopi hangat yang perlahan membanjiri tenggorokan ini tanpa mesti mempedulikan betapa seriusnya dampak kafein bagi tubuh manusia. Ku Rapikan kertas yang masih terjepit di mesin tik usang yang sempat ku beli di pasar loak bulan lalu. Sisa gaji terakhir ku sebagai karyawan bandel yang tidak pernah kerasan dengan pekerjaan apapun.
"krek.. krek !!" benturan tulang belulangku yang sengaja ku lemaskan karena sedari pagi tadi aku masih terfokus pada kata-kata, syair, puisi, sajak, prosa atau entah dengan istilah lainnya, yang memang sudah sedemikian karibnya menggumuli kehidupanku.
"Aahh .. Astagfirullahal adzim.." kalimat reflekku yang terucap selepas membaca beberapa bait ungkapan karyaku dengan maksud mengembalikan semua fungsi syair kepada pemilik syair yang hak.
          Ku pasrahkan tubuh di atas tikar coklat berbantal kumpulan busa sisa potongan sofa tetangga yang memang berprofesi sebagai pengolah bahan interior, sambil menatap atap yang sedikit tembus bila terserang hantaman air langit tanpa kata-kata. Sejenak mata ini mulai menampakkan tuntutan haknya selaku anggota Indera yang disiplin dan manja.
"In, ada Agus tuch dibawah" teriak suara mama dari dalam kamar di bawah kamarku, menghentikan suasana rileksku sejenak.
"he eh .." sahutku singkat, memperjelas bahwa aku memang tidak pernah mengacuhkan sapaan orang tuaku, meskipun sedikit terpaksa kali ini.
Baru ku anjakkan kakiku menuju anak tangga, kulihat sosok Agus lebih dulu hadir di sana menghentikan niatku.
"Ada apa, Gus?" kurapikan hambal mempersilahkannya duduk bersila bah pertapa Hindustan, atau barangkali Aladin dengan permadani dan gaya duduknya yang khas.
"Tadi aku ketemu Ningsih dijalan, dia menitipkan ini buat kamu." sekedar amplop putih bertulis Wahyu Ningsih.. kusambar dari tangan Agus tanpa menunggu ia menyodorkan kepadaku.
"Srek, srek.." ku koyak sudut kertas yang sudah pasti berisi sepucuk surat dengan berkecamuk tanya di dalam bathin. Entah berita baik, atau sebaliknya.
"Tunggu !!" tukas Agus menghentikan tanganku merogoh isi amplop yang tentunya membuatku semakin penasaran.
"Apa lagi, sih?"
"Gini.." senyumnya memberi isyarat.
"Oke.. jelaskan." ku letakkan amplop tersebut di samping tempat ku duduk dengan tatapan yang masih tertuju pada mimik wajah Agus yang sukar ku tafsirkan.
"Dia cerita banyak tentang kamu, yang aku nggak ngerti apa maksud dari seluruh ucapannya.
"Maksudmu..?"
"Aku tahu, kalau ini sedikit lancang. Ta.."
"Cukup..!!" ku potong ucapannya dengan intonasi suara yang agak sedikit bernuansa underground.
"Aku nggak suka berbelit-belit, jadi, kalau hitam.. katakan hitam, putih bilang putih."
"Tenang ya, In.." tuturnya menetralisir suasanan.
"Afwan, afwan. aku salah, baik, gimana ceritanya?"
sejenak ku tatap raut wajahnya yang entah sudah ke berapa kalinya ia menelan ludah, seperti menahan beban.
"Dia bilang.." kali ini sorot matanya terjatuh di atas hambal biruku, seolah tatapanku memiliki gaya magnet tolak menolak, hingga ia tak sanggup meneruskan ucapannya dengan memfokuskan indera penglihatannya kepadaku.
ku tepuk pundaknya sambil mengelus perlahan.
"Rokok?!" tawarku menyejukkan kekikukan yang ada.
Diambilnya sebatang rokok dan ku nyalakan korek membentuk kepulan asap putih di sekeliling bibirnya. sampai beberapa detik.
"Ningsih.." ungkapnya mengawali
"Kenapa?" sahutku
"Ningsih.. dia, dia tidak menyukai penyair."
"Maksudmu..?"
"Ia takut, bila berpacaran dengan seorang penyair akan dibenci Allah."
"Di benci Allah? Atas dasar apa..??" tanyaku membadai laksana taufan di padang sahara.
"Aku juga gak faham."
"Yaa, kariim, apakah salah hambamu ini?" kali ini ku kirimkan tanya pada Tuhan.
"Cuma itu yang dia katakan?" kembali ku tanya Agus.
"Nggak, katanya kalau ingin lihat penjelasan yang lebih konkrit, sah dan hak, baca surah Yasiin ayat enam puluh sembilan." jelas Agus memperkuat alasan Ningsih.
"Ya.. Allah mengapa lantaran sebab syair yang membuat Ningsing mengambil sikap ini. Bukankah masih ada alasan lain yang pantas ia katakan bila memang ingin berpisah denganku secara baik-baik?" Otakku semakin dihujami anak panah yang berkobaran api teka-teki disetiap mata panahnya. Untungnya, aku masih punya iman dan keteguhan i'tikad, hingga tak sebegitu jauh ku terhanyut ke samudra lepas berombak hati yang pecah.

***

"Mau kemana In?" tanya mama yang sedikit memperdulikanku di sela rutinitasnya menjaga warung kelontong hasil patungan keluarga.
"Kerumah Ningsih sebentar." jawabku sambil menggado kerupuk yang sudah tersedia di toples plastik lalu mencium tangan Mama sebagai isyarat seorang anak yang berbakti.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
          Ku pacu pijakan kakiku yang tetap seperti biasanya, sandal jepit biru kesayangan dengan segumpal tanya bahwa saat ini Ningsih ada di rumah atau tidak?
Matahari pagi ini cukup bersahabat, tanpa menggunakan air conditioner pun aku sudah merasa sejuk. Sepertinya hari ini baik bagiku.
Masih dengan sejuta perasaan bersyukur atas nikmat peramu hari yang menyempatkan untuk dapat melihat betapa kokohnya mentari tanpa tiang maupun pngait.
Adalah salah satu kebesaran yang nyata. Subhanallah.
Konsentrasiku terpecah oleh suara parau kernet bus kota yang aktif mengobral ajakannya, sambil sesekali mengusap bibir yang sempat basa bercampur debu-debu metropolitan dengan handuk lusuh yang tersampir di pundak tegapnya. Langkahku kali ini sedikit lebih cepat dari sebelumnya, menyambut lambaian tangan sang kernet seraya melantangkan nyanyian hidupnya. bergelut diantara jutaan aktifitas masing-masing.
Tanpa kata-kata, ku diamkan bangku berderet yang sengaja tersusun dengan terawangku yang semakin tidak menentu.
Mengabaikan ramai, acuhkan hiruk pikuk.
Ku perhatikan sesekali, seorang dara berkerudung putih yang tampak seriusnya membolak-balik catatan keci. Entah berisi apa didalamnya. Tapi, seperti ku kenal buku itu? sedikit hati ini menegaskan sesuatu yang patut diyakini, kumpulan sajak. Ya, memang benar, Chairil Anwar dalam karya terakhirnya "Aku". Sugestiku mulai bermekaran kembali seperti putik-putik mawar yang tumbuh di antara rimbunan ilalang liar.
"Oke selamat pagi menjelang siang, berjumpa kembali bersama kami penyair jalanan. Bermaksud mencoba sejenak berekspresi dengan sekumpulan kata-kata, tanpa ada maksud mengganggu perjalanan anda." tiba-tiba sosok pemuda sederhana dengan rambut ikal mayang sebahu, berdiri di hadapan kami. Membuyarkan naluri masing-masing untuk terpusat pada satu titik fokus..
"Dia".. gayanya yang tak begitu formil, membuat aku tersenyum. Senyum kecil dengan sorot mata yang selalu menjurus pada pose cueknya yang santai.
"Penyair jalanan?" hatiku berguman sendiri.
"Syair.." kata-kata itu mengingatkanku pada kepribadianku yang teramat menyenangi kata-kata indah. tak ku mengerti apakah senyumanku kali ini lantaran penyair jalanan, dara manis berjilbab putih atau karena merasa kehidupanku memang tak begitu asing bagi semua orang. Mendadak senyukmu berubah, bila teringat kembali ungkapan Ningsih lewat suratnya.
"Aku tak ingin hidup lantaran syair", sebab syair adalah sesuatu yang tidak diajarkan Allah kepada Muhammad. Dan ia tidak layak menjadi penyair. "Ukiran tinta itu seakan menudingku dengan seribu satu kesalahan. Aku diam dalam kemelut teka-teki yang belum terjawab. Akun menahan hamtaman kata-kata itu dan tak sedikitpun ada perlawanan berarti. Untung saja, sedari tadi tak ada seorang pun yang memperhatikan raut wajahku. Secara drastis 180° berubah dari sebelumnya.
"Ah persetan!!" ku acuhkan kembali kata-kata Ningsih dan kali ini ku tak ingin terlewat dengan ungkapan sang penyair jalanan. Sebait demi sebaik, bibirnya mengurai maksud tertentu. kalimat demi kalimat, gerakan menterjemahkan sesuatu. Huruf demi huruf, aura wajahnya seperti memancarkan cahaya berbeda.
Ya, pemuda ini berbeda dengan seniman-seniman halanan yang epmiris, yang camping, yang berkesan sembrono, urakan, yang bangga dengan kepribadiannyan sendiri. Amatlah berbeda. ia tampak tenang, berwibawa dan lagipula tidak berkesan menjual syair, yang anehnya.. setiap prosa yang ia tuturkan, selalu mengena kepadaku. Seolah sudah mengerti kecamuk yang ku emban sekarang. Terutama sekali saat ia menuturkan:
     "Aku cinta dengan syair ..
       hanya, dengan syair yang mana aku cinta.
       Tuhan tidak mengajarkan syair padaku saja
       dengan syair yang mana aku di ajarkan
       syairku .. adalah Tuhan."
Aneh benar manusia ini. Sekilas nampak kata-katanya seperti firaun, tapi setahap kemudian penafsiran ini teringat dengan syeikh Siti Djenar dan hanya berselang beberapa menit saja, aku mulai bisa mengerti maksud dari puisi penyair ini, bahwa ungkapannya mirip dengan ekspresi jiwa robi'ah Al Adawiyah. Ya, tokoh sufi yang lahir di dekat kota Basrah, Iraq.
"Cikini.. cikini !!" pekik sang kernet meraung seantero bus. Sadarkan aku pada tujuan utamaku, Ningsih.
          Sebelum turun, kusempatkan sejenak merogoh saku celana yang berisi uang receh. Seribu rupiah, ku selipkan di kantong kemeja penyair tadi. Ia mengangguk perlahan dengan senyum seringai menangkap tatapanku. 
"Syairku, syairmu adalah Tuhan." bisiknya seperti mengisyaratkan sesuatu. Bila bukan karena sudah tiba di tujuan, pastu ku tunggu maksud dari pembicaraannya tadi. Langkahku tergesa menapaki jalan kecil menuju rumah Ningsih.
          Sekumpulan manusia berbusana hitam-hitang berjalan membentuk iringan parade. seperti parade kematian. Betul, usungan jenazah pun nampak di hitamnya bola mataku. Memang sebuah parade kematian.  Siapa? ku tak begitu berminat untuk mengetahuinya.
"Hei, apa yang kulihat?" guman keterkejutanku saat menatap foto 10R berbingkai yang menempel di peti jenazah.
"Tidak mungkin" pekikku dalam menahan pori-pori yang sepertinya memaksa untuk terbuka lebar-lebar. Langkahku berat, tulang belulangku lunglai dan ingin sekali ku rebah di hamparan jalan kecil ini. Ku batalkan niat.


***

"Amin.." serentak suara peziarah mengamini do'a sang pemimpin kubur. 
Pelupuk mata yang bekam berlinang dengan tatapan saya yang kosong membuatku turut larut di dalamnya. Selepas menabur bungan & berdoa, akhirnya mereka pun pergi meninggalkan nisan yang baru saja terpasang tadi.
          Selangkah demi selangkah ku ikuti derap peziarah yang hendak kembali ke rumah dengan duka masing-masing. Posisiku sepuluh langkah dari deretan mereka yang terbelakang. Pandanganku penuh tanya menunduk ke tanah yang kan ku pijak. tak jauh dari tanah pekuburan, kira-kira tuju langkah. Ku temukan selembar uang aneh, seperti uangku tadi yang ku berikan sewaktu...
"Tep!!" sebuah tepukan ringan mendarat di pundak kiriku membaiti soal di hati.
"Maaf, aku sudah memutuskan." tuturnya singkat.
"Ningsih..?!" ku hentikan langkah di hadapannya.
"Iya, aku memperhatikan kamu sejak tadi, hanya saja ku lihat kau begitu serius dengan jenazah sepupuku yang baru saja dikubur."
"Sepupumu?" tanyaku semakin tak terbendung lagi.
"Itulah alasanku, kenapa aku tak ingin ada syair di muka bumi."
"Maksudmu? Aku semakin tidak mengerti?"
"Syair," meneruskan langkahnya tanpa memperdulikanku. "Yang membuat orang sombong, lupa diri, takabbbur dan mudah memperbandingkan kebesaran yang mestinya tidak pantas untuk diperbandingkan." jelasnya.
"Lalu apa hubungannya dengan sepupumu itu? Pendaman keras di benakku serasa ingin ku muntahkan semua.
"Tiga hari sebelum ia meninggal. kata-kata yang diucapkannya hanyalah syair, syair dan syair."
"Oya?!"
"Satu kata terakhir yang dia ucapkan.."
"Apa?"
"Syairku.. adalah Tuhan." Katanya menampar setiap kulitku. Sepertinya aku belum lupa kata-kata ini.   Jenazah itu, ya, jenazah itu belum lama memberikan kata-kata itu. Lalu, uang ini .. uang yang baru saja ku berikan padanya. Penyair muda yang mencintai Tuhannya. Benar-benar peristiwa yang ganjil.
           Ningsih meninggalkanku sendiri bergelut dengan lamunan, diantara nisan-nisan tua. Ku tak berniat mengejarnya. Sejenak ku simpan saja cerita penyair yang sekarang ada di dalam kubur itu, dan biarlah ku bawa kata-kata terakhirnya bersamaku sebagai persembahan puja kepada Allah. Barangkali hanya aku, penyair ini dan Tuhan yang mengerti bahwa syairku... adalah TUHAN

Aku Ingin Pulang

Suasana redaksi pagi hari ini dilindungi sunyi. Mata-mata menerawang pada meja segi empat berseni kriya Jepara. Nampak empat, lima atau lebih tim koresponden yang terjun dalam satu habitat tersebut, di meja masing-masing.

Laksana bayi yang baru pertama kali mengenal mayapada. Beradaptasi, memulai hidup ekstensif, memutar siklus, barulah menjadi seseorang yang dormant.

Berbeda dengan Zahra. Renjatan hebat di setiap baya usianya kerap melintasi altar imajinya. Depresi ini yakin benar dirasakannya, selalu menjadi katalisator antara kenyataan dengan fenomena usang yang baru saja dialaminya.

Aroma centilnya tak dieksposenya lagi kini. Logat bicaranya yang ramai, renyah dan gurih laksana tiga ratus orang komentator yang sedang mengunyah kerupuk di atas pematang sawah pada tengah malam buta di bulan purnama, malam jumat kliwon. Tak ada lagi.. Sunyinya kini terasa dan tak ada lagi tabiatnya yang dulu. Dari segi ahlak, dalam istilah medik, ia bisa dikatagorikan sebagai imunokompeten kini.

“Masih saja itu,” tegur Mbak Dewi mengusir sekumpulan demonstran yang sedang berorasi di benak Zahra. Diambilnya sejilid artikel dari sudut pandang Zahra sembari melihat kolom yang sejak tadi dibolak-baliknya. Mata bekamnya menjawab semua teguran Mbak Dewi dengan tetap menyudutkan pandangan ke meja kotaknya.

“Aku pun mengerti perasaanmu. Takkan ada habisnya. Semua ada disini akan kembali ke kampung halaman yang sama. Termasuk Mbak pun begitu,” kali ini ungkapan Mbak Dewi serat dengan eufoni yang melahirkan infonasi berbeda dan membuat Zahra sedikit menoleh kepadanya, walau akhirnya tetap saja pandangan itu kembali tertunduk ke meja depan.

“Euleuh, euleuh.. Mbak Dewi teh kaya Dylan Thomas wae, meni dramatis kitu,” canda Anggi yang memang memiliki perbendaharaan bahasa sunda cukup lumayan, “atoslah..!! sing penting, awake dewe iki ngelakoni,” kembali tuturnya menjadi bilingual seperti di sinetron.

Zahra rekahkan bibirnya mencibirkan adegan Anggi, yang sungguh naïf. Sesaat ia tersenyum seraya mereguk segelas milk shake yang masih tersisa setengah.

“Nah, begitu kan lebih baik. Mbak jadi kembali bersemangat bila melihat kamu tersenyum. Okeh?!” Kali ini Mbak Dewi menahan senyum Zahra.


***


Kekasih, di tajamnya bulan sabit aku mengenal kamu, di bulatnya purnama aku meminangmu, dan ketika rembulan padam, aku kembali kepada Pemilikmu…
Tes..
Air mata Zahra menutupi seisi kamar. Dipandangnya lekat-lekat sosok lelaki gagah  dengan senyum simpulnya, dalam selembar potret 3R.
Angga. Putra Setya Airlangga, lengkapnya. Sosok pria yang dipujanya selama ini. Lelaki yang pandai menyenangkan hatinya dengan celoteh syair, tata bahasa yang indah, kias-kias pujangga, bahkan pituah-pituahnya yang bijaksana dan kerap mengandung romansa yang cukup dalam. Membuatnya sulit melepas sosok bayangan itu dari kesehariannya.
Puisi-puisi, novel, roman, sajak, prosa, artikel bahkan seluruh catatan kecil milik kekasihnya ini disimpan rapi dalam satu perpustakaan megah, yang didapati selalu menghantui, memekik keras, meraung, merayu, memuja, mengerang, mencakar-cakar halusinasinya membentuk substansi yang pada dengan kosakata.
Disandarkan kepalanya menyudut tembok putih dengan dua buah bantal milik Zahra dan kekasihnya. Menepuk-nepuk pelan. Matanya semakin buta. Nafasnya tertata rapi, seperti kolaborasi antara salung dengan perkusi dalam satu opera nina bobo dengan orchestra malam.

***

“Kamu sudah melihat kamarku?” Tanya Angga.
“Kamar…?! Zahra termangu.
“Mari!” Diseretnya tangan Zahra menuju jalan yang begitu asing baginya. Penuh dengan cahaya putih silau, keperakan, atau mungkin berwarna platina. Berhamburan warnanya menyelinap di mata Zahra. Ia hanya bisa menoleh ke atas, ke kiri, ke bawah, ke kanan. Memastikan ke setiap penjuru, apakah ada salah satu pernik yang ia kenali.
“Ini,” ditunjukkannya istana luas di hadapan Zahra. Berukuran lebih dari 17.000 pulau di Indonesia tentunya. Sungai yang panjang dan luasnya berkilo-kilo meter kubik dengan kupu-kupu bianglala pada setiap nuansa tersendiri.
“Kita akan tinggal di sini!” Tegas Angga.
“Kita? Di.. di sini?”
“Ya. Lihatlah!” Angga menunjuk sebuah papan emas, berisi tulisan dengan huruf kapital dari kumpulan batu permata, jamrud, mutiara, intan, yaqut dan masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan seluruhnya.
PUTRA SETYA AIRLANGGA
SITI ZAHRA
Terpampang luar biasa melebihi batas Masyrik dan Magrib, terlebih-terlebih tanah Hollywood. Udaranya yang sejuk bersahabat, membawa aroma kasturi.
“Ini.. Ru, rumah kita?” Kembali Zahra meminta kepastian dari kekasihnya.
“Ya! Ini memang rumah kita.” Jelas Angga dengan kembali menyeret tangan Zahra. Kali ini mereka menuju pelataran istana yang tak sebanding dengan marmer Italia. Terbukalah pintu gerbang berhias yaqut, menganga lebar, seperti memerintah Zahra masuk.
Di dalamnya terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan, dua mata air yang memancar dari bawah. Di sebelah dalam lagi terhampar permadani-permadani indah yang terbuat dari sutra dan bantal-bantal berwarna hijau yang bukan menggunakan cat akrilik buatan Jepang atau Negara manapun. Dari sana terlihat jelas dipan cantik bertahta emas dan permata, yang pasti tidak di jual di counter manapun atau show room dekat rumah kita.
“Subhanallah!! Benar? Ini.. ini, rumahku dan kamu?” lagi-lagi Tanya ini yang dilontarkan Zahra dengan tak habis-habisnya berguman melayangkan tasbih.
“Benar! Kita yang tinggal di sini. Aku, dan kamu.” Kembali Angga memberi tanggapan yang sama, “Lihatlah!” Diseretnya tangan Zahra kembali menuju perpustakaan mewah dan luas, sangat luas. Buku-buku terjajar begitu rapi. Zahra tak mencoba bertanya tentang siapa Penata Ruang, Pendesain Interior, atau Perancang artistiknya, yang membuat argonominya berkesan sempurna.
“Kamu masih menulis?” Zahra menyela.
“Tentu. Sebab dari sanalah aku berasal. Itu duniaku. Dunia itu yang membuat aku diberikan tempat sedemikian Maha Indah. Dunia itu yang mengenalkan aku Zikrullah, salawat, tasbih dan doa. Mengumandangkan Firman, mensabdakan hadis. Bahkan di sanalah aku shalat, puasa, zakat, dan beramal saleh.” Papar Angga membuat Zahra termanggut-manggut setengah faham.
“Ini, tulisanmu?”
“Benar, ini tulisanku.”
“Tapi berbeda dengan tulisanmu yang dulu?!”
“Benar. Ini tulisanku.”
“Dulu tulisanmu tidak seperti sekarang. Kini penulisanmu apik, bijaksana dan eufonik. Mengandung Ritma, rima, aliterasi, asonansi dan harmoni yang sempurna tanpa mesti kubaca terlebih dulu,” sergah Zahra yang sedikit banyaknya memahami tentang kesusastraan.
“Inilah aku yang sekarang. Lebih sempurna dibandung yang dulu. Tulisanku lebih estetik dibanding yang dulu.”
“Mengapa?” Zahra terus menggencar pertanyaan kepada kekasihnya, seperti halnya seorang wartawan yang sedang menelanjangi nara sumbernya.
“Zahra kekasihku,” kali ini tutur Angga lebih halus dari sebelumnya, “Inilah kampung halamanku. Ini tempat terakhirku. Di sini segalanya lebih sempurna, lebih baka dan melebihi yang maha lebih sewaktu aku di sana dulu.”
Zahra mengangguk mengerti, “Benar". Di sini pula nanti aku tinggal. Jadi, pantaslah bila aku merindukan untuk bertemu kamu di sini. Membuka bab demi bab, jilid demi jilid, lembar demi lembar. Bermain di taman bacaan dalam kebahagiaan dan berenang-renang di sungai, depan rumah kita ini.” Seketika air mata Zahra berhamburan mengaliri pipi. Direkatkan pipinya ke dada suaminya lalu kemudian menangis sejadi-jadinya. Dirasakan kedamaian itu begitu mengharukan, seolah tak ingin lepas dari pelukan kekasih tercintanya sedetikpun.
“Kekasihku..” Sapa Angga menghentikan pameran cengeng tersebut. Zahra menjurus matanya mengarah ke raut elok kekasihnya.
“Engkau masih punya nusyuz. Sedang aku sudah tak ada lagi sangkut pautnya dengan syariat macam itu. Kewajibanmu mendoakanku adalah utama,” sedikit Angga berpituah.
“Insya Allah. Aku akan tambah perbendaharaan buku-buku kita di sini, dengan tetap menjalankan syariatku di sana,” jawab Zahra memuaskan hati sang kekasih.
Secarik kertas diambil dari rak buku yang berhiaskan marjan kemudian diselipkan di sela jemari Zahra, “simpanlah kata-kataku ini. Dalam secarik kertas ini berisi makna hidup. Jalanilah syariat demi menempuh hakikat!”
Zahra termenung sejenak. Dibukanya lembaran tadi dengan penuh teka-teki. Belum habis rasa penasarannya, bersingut udara sekitar Nampak penuh kabut. Menutup semua yang terlihat, termasuk kertas tersebut. Bayangannya terbang bersama halimun yang entah darimana hadirnya.
Teringat akan kekasihnya, Zahra mengibas-ngibaskan tangan bermaksud mencari. Langkah demi langkah ditapaki tanpa tujuan. Di hadapannya hanya putih! Putih yang semakin tebal. Timbul gusar di hatinya. Memutar ke kanan, memutar ke kiri. Berlari ke depan, berlari ke samping. Tak ditemui kekasihnya. Terus-menerus berlari sampai nafasnya tersengal-sengal.
“Anggaa!! Anggaa!!” Pekiknya keras.
“Angggaaa..!!!” Kembali meraung.
“ANGGAAAA!!!!” Suaranya semakin keras. Seketika tubuhnya tersentak keras pula. Nafasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran, wajahnya pucat pasi, kelopak matanya membelalak, jantungnya berdetak kencang, darahnya mengalir deras, tak bisa terdeteksi oleh hematokrit siapapun, dimanapun.
“Istigfar, Ra! Istigfar!!” Didapati Anggi teman sekerjanya duduk di pembaringan Zahra. Mengusap rambutnya lantas menyuguhkan segelas air putih seraya meminumkannya, “kamu mimpi?”
Zahra menunduk dengan rambut kucalnya. Dirapikan perlahan. Dan perlahan pula ia baru menyadari bahwa baru saja ia bermimpi, “astagfirullah..” desahnya.
“Ra.. Bersabarlah! Kekasihmu sudah menemukan jati dirinya. Ia sudah menemukan jalan pulang,” kali ini Anggi berpituah, “jangan kamu sesalkan atau menenggelamkan dirimu sendiri ke dalam lautan kekalutan. Masih ada Allah, masih ada teman-teman dan masih ada aku.”
“Terima kasih, Nggi..” sebait kata mulai terlintas.
Ditengoknya jam dinding yang menempel di dinding kamar, tepat di sisi potret sang kekasih terpampang. Anggi mengernyitkan dahi.
“Ups.. setenga TUJUHH??!!! Aku kesiangan lagi!Gaawwaatt!!!” Spontan Zahra melompat dari tempat tidur. Hampir saja menendang muka Anggi. Zahra tak memperdulikannya, seribu langkah ia menuju kamar mandi. Anggi hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala sambil cekikikan kecil melihat sahabatnya yang begitu cepat berubah ekspresi. Persis pemain drama saja, pikirnya.

***
Buku ini, Jam tangan ini, sepatu ini. Suatu pernik yang amat disukai kekasihnya. Dilipatnya lalu diletakkan di atas balai tidur. Masih terdengar lengking suara Anggi dari dalam kamar mandi membiarkan suaranya lepas landas tanpa memperdulikan tetangganya yang mulas-mulas akibat ocehan kidung toiletnya.
Sambil menunggu Anggi selesai mandi, kembali dibukanya artikel milik kekasih tercinta. Serial surat-suratan syair bernuansa religius. Komposisinya lebih ditekankan pada argumentasi ukhrawi.
Komat-kamit bibirnya laksana mantra yang diucapkan lewat tukang kaba. Membahana di langit-langit kamar. Lalu kemudian terdiam sejenak pada bait ke sembilan dari sajak yang berjudul “Aku Ingin Pulang” menyimak dalam-dalam goresan disana.

Kekasih, di tajamnya bulan sabit, aku mengenal kamu, di bulatnya purnama aku meminangmu, dan ketika rembulan padam, aku kembali kepada Pemilikmu…

Ini? Bait yang Angga tulis di mimpinya semalam. Ya! Benar! Sekali lagi Zahra mengulang bacaannya. Benar, sair ini. Tak jemu ia mengulang kembali bait tersebut.
Teknik penyampaiannya dalam. Tak serupa dengan penulis manapun. Edgar Allan Poe? Victor Hugo? Lord Tennyson? Mayakovsky, Yevtushenko, Voznesensky, T.S. Elliot? Ezra Pound? Tidak. Tidak serupa maknanya. Lain, ini lain. Kandungannya tercermin gaya epitet, atau alusio, atau menggunakan gaya bahasa klimaks, atau? Pemikirannya sejenak mengembara. Membuka kembali daftar pustaka yang ia miliki di rimba benak, mencari resensi yang tepat untuk menyimpulkan makna tulisan itu.
“Mbak’e, mbok ya rapi-rapi dulu!” Tegur Anggi yang tengah diberat-beratkan. Sedikit terkejut Zahra dibuatnya.
“Eh, Nggi! Kamu tahu maksud dari tulisan ini?” Zahra menunjukkan bait yang sejak tadi masih diulang-ulang itu.
“Mana?” dilongoknya sampai menempel di batang hidungnya persis, “Ah itu sih Putu Wijaya juga ngerti!” Tegasnya, yang jelas-jelas tak membaca tulisan tersebut.
“Aku serius, Nggi!!” Zahra memasang muka kecutnya.
“Sudah, ah. Mending kamu Siap-siap. Nanti kesiangan lagi, terlambat lagi, cemberut lagi. Masalah itu, nanti kita Tanya sama Pak Joni Aria-Dinata saja!” Jawab Anggi sekenanya saja lalu bergegas merapikan diri.
Teka-teki itu belum terjawab. Zahra menyimpan dalam dalam maklumat tersebut dan terus mencoba berfikir menerawangi maknanya.

***

Suasana redaksi pagi hari ini dilindapi sunyi. Mata-mata menerawang pada meja segi empat berseni kriya Jepara. Nampak empat, lima atau lebih tim koresponden yang terjun dalam satu habitatnya tersebut, di meja masing-masing.
Zahra terngiang ucapan Mbak Dewi yang hampir-hampir mirip dengan Dylan Thomas (Penyair abad 20) itu.
“Semua yang ada di sini akan kembali ke kampung halaman yang sama.” Ungkapnya.
“Kekasihmu sudah menemukan jatidirinya. Ia sudah menemukan jalan pulang,” Anggi pun turut bersumbang pituahnya.
“Ketika rembulan padam, aku kembali pada Pemilikmu.” Angga kembali berperan.
Lama termenung dalam kabut Tanya jawab, saran, usul, gagasan, nasehat, dan sebagainya. Akhirnya rapat intern yang diselenggarakan oleh seluruh devisi batinnya yang cukup panjang ini tak sia-sia. Terjawablah semua. Saat kerinduannya pada kampung halaman terakhir yang begitu indah dan megah, seperti dalam mimpinya itu. Ditemani oleh Kekasih tercintanya yang sudah lebih dulu pulang. Semakin membuatnya bersemangat menjalani aktivitas hidupnya.
“Kekasih, aku sedang dalam perjalanan pulang. Tunggulah aku!! Akan ku bawa bekal sebanyak mungkin. Dan kutulis karya sastraku dengan amal agar bisa tersimpan di perpustakaan berhias marjan kita. Tunggulah, kekasih!! Aku Ingin Pulang.”

Forum Sastra

  © Lokananta Sastra Dirancang oleh Indra eL wi Djenar 2010

Balik ke Atas