Suasana redaksi pagi hari ini dilindungi sunyi. Mata-mata menerawang pada meja segi empat berseni kriya Jepara. Nampak empat, lima atau lebih tim koresponden yang terjun dalam satu habitat tersebut, di meja masing-masing.
Laksana bayi yang baru pertama kali mengenal mayapada. Beradaptasi, memulai hidup ekstensif, memutar siklus, barulah menjadi seseorang yang dormant.
Berbeda dengan Zahra. Renjatan hebat di setiap baya usianya kerap melintasi altar imajinya. Depresi ini yakin benar dirasakannya, selalu menjadi katalisator antara kenyataan dengan fenomena usang yang baru saja dialaminya.
Aroma centilnya tak dieksposenya lagi kini. Logat bicaranya yang ramai, renyah dan gurih laksana tiga ratus orang komentator yang sedang mengunyah kerupuk di atas pematang sawah pada tengah malam buta di bulan purnama, malam jumat kliwon. Tak ada lagi.. Sunyinya kini terasa dan tak ada lagi tabiatnya yang dulu. Dari segi ahlak, dalam istilah medik, ia bisa dikatagorikan sebagai imunokompeten kini.
“Masih saja itu,” tegur Mbak Dewi mengusir sekumpulan demonstran yang sedang berorasi di benak Zahra. Diambilnya sejilid artikel dari sudut pandang Zahra sembari melihat kolom yang sejak tadi dibolak-baliknya. Mata bekamnya menjawab semua teguran Mbak Dewi dengan tetap menyudutkan pandangan ke meja kotaknya.
“Aku pun mengerti perasaanmu. Takkan ada habisnya. Semua ada disini akan kembali ke kampung halaman yang sama. Termasuk Mbak pun begitu,” kali ini ungkapan Mbak Dewi serat dengan eufoni yang melahirkan infonasi berbeda dan membuat Zahra sedikit menoleh kepadanya, walau akhirnya tetap saja pandangan itu kembali tertunduk ke meja depan.
“Euleuh, euleuh.. Mbak Dewi teh kaya Dylan Thomas wae, meni dramatis kitu,” canda Anggi yang memang memiliki perbendaharaan bahasa sunda cukup lumayan, “atoslah..!! sing penting, awake dewe iki ngelakoni,” kembali tuturnya menjadi bilingual seperti di sinetron.
Zahra rekahkan bibirnya mencibirkan adegan Anggi, yang sungguh naïf. Sesaat ia tersenyum seraya mereguk segelas milk shake yang masih tersisa setengah.
“Nah, begitu kan lebih baik. Mbak jadi kembali bersemangat bila melihat kamu tersenyum. Okeh?!” Kali ini Mbak Dewi menahan senyum Zahra.
***
Kekasih, di tajamnya bulan sabit aku mengenal kamu, di bulatnya purnama aku meminangmu, dan ketika rembulan padam, aku kembali kepada Pemilikmu…
Tes..
Air mata Zahra menutupi seisi kamar. Dipandangnya lekat-lekat sosok lelaki gagah dengan senyum simpulnya, dalam selembar potret 3R.
Angga. Putra Setya Airlangga, lengkapnya. Sosok pria yang dipujanya selama ini. Lelaki yang pandai menyenangkan hatinya dengan celoteh syair, tata bahasa yang indah, kias-kias pujangga, bahkan pituah-pituahnya yang bijaksana dan kerap mengandung romansa yang cukup dalam. Membuatnya sulit melepas sosok bayangan itu dari kesehariannya.
Puisi-puisi, novel, roman, sajak, prosa, artikel bahkan seluruh catatan kecil milik kekasihnya ini disimpan rapi dalam satu perpustakaan megah, yang didapati selalu menghantui, memekik keras, meraung, merayu, memuja, mengerang, mencakar-cakar halusinasinya membentuk substansi yang pada dengan kosakata.
Disandarkan kepalanya menyudut tembok putih dengan dua buah bantal milik Zahra dan kekasihnya. Menepuk-nepuk pelan. Matanya semakin buta. Nafasnya tertata rapi, seperti kolaborasi antara salung dengan perkusi dalam satu opera nina bobo dengan orchestra malam.
***
“Kamu sudah melihat kamarku?” Tanya Angga.
“Kamar…?! Zahra termangu.
“Mari!” Diseretnya tangan Zahra menuju jalan yang begitu asing baginya. Penuh dengan cahaya putih silau, keperakan, atau mungkin berwarna platina. Berhamburan warnanya menyelinap di mata Zahra. Ia hanya bisa menoleh ke atas, ke kiri, ke bawah, ke kanan. Memastikan ke setiap penjuru, apakah ada salah satu pernik yang ia kenali.
“Ini,” ditunjukkannya istana luas di hadapan Zahra. Berukuran lebih dari 17.000 pulau di Indonesia tentunya. Sungai yang panjang dan luasnya berkilo-kilo meter kubik dengan kupu-kupu bianglala pada setiap nuansa tersendiri.
“Kita akan tinggal di sini!” Tegas Angga.
“Kita? Di.. di sini?”
“Ya. Lihatlah!” Angga menunjuk sebuah papan emas, berisi tulisan dengan huruf kapital dari kumpulan batu permata, jamrud, mutiara, intan, yaqut dan masih banyak lagi yang tak mampu disebutkan seluruhnya.
PUTRA SETYA AIRLANGGA
SITI ZAHRA
Terpampang luar biasa melebihi batas Masyrik dan Magrib, terlebih-terlebih tanah Hollywood. Udaranya yang sejuk bersahabat, membawa aroma kasturi.
“Ini.. Ru, rumah kita?” Kembali Zahra meminta kepastian dari kekasihnya.
“Ya! Ini memang rumah kita.” Jelas Angga dengan kembali menyeret tangan Zahra. Kali ini mereka menuju pelataran istana yang tak sebanding dengan marmer Italia. Terbukalah pintu gerbang berhias yaqut, menganga lebar, seperti memerintah Zahra masuk.
Di dalamnya terdapat segala macam buah-buahan yang berpasang-pasangan, dua mata air yang memancar dari bawah. Di sebelah dalam lagi terhampar permadani-permadani indah yang terbuat dari sutra dan bantal-bantal berwarna hijau yang bukan menggunakan cat akrilik buatan Jepang atau Negara manapun. Dari sana terlihat jelas dipan cantik bertahta emas dan permata, yang pasti tidak di jual di counter manapun atau show room dekat rumah kita.
“Subhanallah!! Benar? Ini.. ini, rumahku dan kamu?” lagi-lagi Tanya ini yang dilontarkan Zahra dengan tak habis-habisnya berguman melayangkan tasbih.
“Benar! Kita yang tinggal di sini. Aku, dan kamu.” Kembali Angga memberi tanggapan yang sama, “Lihatlah!” Diseretnya tangan Zahra kembali menuju perpustakaan mewah dan luas, sangat luas. Buku-buku terjajar begitu rapi. Zahra tak mencoba bertanya tentang siapa Penata Ruang, Pendesain Interior, atau Perancang artistiknya, yang membuat argonominya berkesan sempurna.
“Kamu masih menulis?” Zahra menyela.
“Tentu. Sebab dari sanalah aku berasal. Itu duniaku. Dunia itu yang membuat aku diberikan tempat sedemikian Maha Indah. Dunia itu yang mengenalkan aku Zikrullah, salawat, tasbih dan doa. Mengumandangkan Firman, mensabdakan hadis. Bahkan di sanalah aku shalat, puasa, zakat, dan beramal saleh.” Papar Angga membuat Zahra termanggut-manggut setengah faham.
“Ini, tulisanmu?”
“Benar, ini tulisanku.”
“Tapi berbeda dengan tulisanmu yang dulu?!”
“Benar. Ini tulisanku.”
“Dulu tulisanmu tidak seperti sekarang. Kini penulisanmu apik, bijaksana dan eufonik. Mengandung Ritma, rima, aliterasi, asonansi dan harmoni yang sempurna tanpa mesti kubaca terlebih dulu,” sergah Zahra yang sedikit banyaknya memahami tentang kesusastraan.
“Inilah aku yang sekarang. Lebih sempurna dibandung yang dulu. Tulisanku lebih estetik dibanding yang dulu.”
“Mengapa?” Zahra terus menggencar pertanyaan kepada kekasihnya, seperti halnya seorang wartawan yang sedang menelanjangi nara sumbernya.
“Zahra kekasihku,” kali ini tutur Angga lebih halus dari sebelumnya, “Inilah kampung halamanku. Ini tempat terakhirku. Di sini segalanya lebih sempurna, lebih baka dan melebihi yang maha lebih sewaktu aku di sana dulu.”
Zahra mengangguk mengerti, “Benar". Di sini pula nanti aku tinggal. Jadi, pantaslah bila aku merindukan untuk bertemu kamu di sini. Membuka bab demi bab, jilid demi jilid, lembar demi lembar. Bermain di taman bacaan dalam kebahagiaan dan berenang-renang di sungai, depan rumah kita ini.” Seketika air mata Zahra berhamburan mengaliri pipi. Direkatkan pipinya ke dada suaminya lalu kemudian menangis sejadi-jadinya. Dirasakan kedamaian itu begitu mengharukan, seolah tak ingin lepas dari pelukan kekasih tercintanya sedetikpun.
“Kekasihku..” Sapa Angga menghentikan pameran cengeng tersebut. Zahra menjurus matanya mengarah ke raut elok kekasihnya.
“Engkau masih punya nusyuz. Sedang aku sudah tak ada lagi sangkut pautnya dengan syariat macam itu. Kewajibanmu mendoakanku adalah utama,” sedikit Angga berpituah.
“Insya Allah. Aku akan tambah perbendaharaan buku-buku kita di sini, dengan tetap menjalankan syariatku di sana,” jawab Zahra memuaskan hati sang kekasih.
Secarik kertas diambil dari rak buku yang berhiaskan marjan kemudian diselipkan di sela jemari Zahra, “simpanlah kata-kataku ini. Dalam secarik kertas ini berisi makna hidup. Jalanilah syariat demi menempuh hakikat!”
Zahra termenung sejenak. Dibukanya lembaran tadi dengan penuh teka-teki. Belum habis rasa penasarannya, bersingut udara sekitar Nampak penuh kabut. Menutup semua yang terlihat, termasuk kertas tersebut. Bayangannya terbang bersama halimun yang entah darimana hadirnya.
Teringat akan kekasihnya, Zahra mengibas-ngibaskan tangan bermaksud mencari. Langkah demi langkah ditapaki tanpa tujuan. Di hadapannya hanya putih! Putih yang semakin tebal. Timbul gusar di hatinya. Memutar ke kanan, memutar ke kiri. Berlari ke depan, berlari ke samping. Tak ditemui kekasihnya. Terus-menerus berlari sampai nafasnya tersengal-sengal.
“Anggaa!! Anggaa!!” Pekiknya keras.
“Angggaaa..!!!” Kembali meraung.
“ANGGAAAA!!!!” Suaranya semakin keras. Seketika tubuhnya tersentak keras pula. Nafasnya tersengal-sengal, keringatnya bercucuran, wajahnya pucat pasi, kelopak matanya membelalak, jantungnya berdetak kencang, darahnya mengalir deras, tak bisa terdeteksi oleh hematokrit siapapun, dimanapun.
“Istigfar, Ra! Istigfar!!” Didapati Anggi teman sekerjanya duduk di pembaringan Zahra. Mengusap rambutnya lantas menyuguhkan segelas air putih seraya meminumkannya, “kamu mimpi?”
Zahra menunduk dengan rambut kucalnya. Dirapikan perlahan. Dan perlahan pula ia baru menyadari bahwa baru saja ia bermimpi, “astagfirullah..” desahnya.
“Ra.. Bersabarlah! Kekasihmu sudah menemukan jati dirinya. Ia sudah menemukan jalan pulang,” kali ini Anggi berpituah, “jangan kamu sesalkan atau menenggelamkan dirimu sendiri ke dalam lautan kekalutan. Masih ada Allah, masih ada teman-teman dan masih ada aku.”
“Terima kasih, Nggi..” sebait kata mulai terlintas.
Ditengoknya jam dinding yang menempel di dinding kamar, tepat di sisi potret sang kekasih terpampang. Anggi mengernyitkan dahi.
“Ups.. setenga TUJUHH??!!! Aku kesiangan lagi!Gaawwaatt!!!” Spontan Zahra melompat dari tempat tidur. Hampir saja menendang muka Anggi. Zahra tak memperdulikannya, seribu langkah ia menuju kamar mandi. Anggi hanya mampu menggeleng-gelengkan kepala sambil cekikikan kecil melihat sahabatnya yang begitu cepat berubah ekspresi. Persis pemain drama saja, pikirnya.
***
Buku ini, Jam tangan ini, sepatu ini. Suatu pernik yang amat disukai kekasihnya. Dilipatnya lalu diletakkan di atas balai tidur. Masih terdengar lengking suara Anggi dari dalam kamar mandi membiarkan suaranya lepas landas tanpa memperdulikan tetangganya yang mulas-mulas akibat ocehan kidung toiletnya.
Sambil menunggu Anggi selesai mandi, kembali dibukanya artikel milik kekasih tercinta. Serial surat-suratan syair bernuansa religius. Komposisinya lebih ditekankan pada argumentasi ukhrawi.
Komat-kamit bibirnya laksana mantra yang diucapkan lewat tukang kaba. Membahana di langit-langit kamar. Lalu kemudian terdiam sejenak pada bait ke sembilan dari sajak yang berjudul “Aku Ingin Pulang” menyimak dalam-dalam goresan disana.
Kekasih, di tajamnya bulan sabit, aku mengenal kamu, di bulatnya purnama aku meminangmu, dan ketika rembulan padam, aku kembali kepada Pemilikmu…
Ini? Bait yang Angga tulis di mimpinya semalam. Ya! Benar! Sekali lagi Zahra mengulang bacaannya. Benar, sair ini. Tak jemu ia mengulang kembali bait tersebut.
Teknik penyampaiannya dalam. Tak serupa dengan penulis manapun. Edgar Allan Poe? Victor Hugo? Lord Tennyson? Mayakovsky, Yevtushenko, Voznesensky, T.S. Elliot? Ezra Pound? Tidak. Tidak serupa maknanya. Lain, ini lain. Kandungannya tercermin gaya epitet, atau alusio, atau menggunakan gaya bahasa klimaks, atau? Pemikirannya sejenak mengembara. Membuka kembali daftar pustaka yang ia miliki di rimba benak, mencari resensi yang tepat untuk menyimpulkan makna tulisan itu.
“Mbak’e, mbok ya rapi-rapi dulu!” Tegur Anggi yang tengah diberat-beratkan. Sedikit terkejut Zahra dibuatnya.
“Eh, Nggi! Kamu tahu maksud dari tulisan ini?” Zahra menunjukkan bait yang sejak tadi masih diulang-ulang itu.
“Mana?” dilongoknya sampai menempel di batang hidungnya persis, “Ah itu sih Putu Wijaya juga ngerti!” Tegasnya, yang jelas-jelas tak membaca tulisan tersebut.
“Aku serius, Nggi!!” Zahra memasang muka kecutnya.
“Sudah, ah. Mending kamu Siap-siap. Nanti kesiangan lagi, terlambat lagi, cemberut lagi. Masalah itu, nanti kita Tanya sama Pak Joni Aria-Dinata saja!” Jawab Anggi sekenanya saja lalu bergegas merapikan diri.
Teka-teki itu belum terjawab. Zahra menyimpan dalam dalam maklumat tersebut dan terus mencoba berfikir menerawangi maknanya.
***
Suasana redaksi pagi hari ini dilindapi sunyi. Mata-mata menerawang pada meja segi empat berseni kriya Jepara. Nampak empat, lima atau lebih tim koresponden yang terjun dalam satu habitatnya tersebut, di meja masing-masing.
Zahra terngiang ucapan Mbak Dewi yang hampir-hampir mirip dengan Dylan Thomas (Penyair abad 20) itu.
“Semua yang ada di sini akan kembali ke kampung halaman yang sama.” Ungkapnya.
“Kekasihmu sudah menemukan jatidirinya. Ia sudah menemukan jalan pulang,” Anggi pun turut bersumbang pituahnya.
“Ketika rembulan padam, aku kembali pada Pemilikmu.” Angga kembali berperan.
Lama termenung dalam kabut Tanya jawab, saran, usul, gagasan, nasehat, dan sebagainya. Akhirnya rapat intern yang diselenggarakan oleh seluruh devisi batinnya yang cukup panjang ini tak sia-sia. Terjawablah semua. Saat kerinduannya pada kampung halaman terakhir yang begitu indah dan megah, seperti dalam mimpinya itu. Ditemani oleh Kekasih tercintanya yang sudah lebih dulu pulang. Semakin membuatnya bersemangat menjalani aktivitas hidupnya.
“Kekasih, aku sedang dalam perjalanan pulang. Tunggulah aku!! Akan ku bawa bekal sebanyak mungkin. Dan kutulis karya sastraku dengan amal agar bisa tersimpan di perpustakaan berhias marjan kita. Tunggulah, kekasih!! Aku Ingin Pulang.”