Setiap butiran kata yang terucap dari lisan kita, kelak akan dipinta pertanggungjawabannya. Maka pergunakanlah dengan bijaksana.

Syairku adalah Tuhan

 Sastra kontemporer adalah sebuah penguraian naluriku yang tersusun atas dasar pengejawantahan mayapada secara berkesinambung. Lewat ungkapan, ku tegaskan arti perjalanan hidup yang kontemporer dengan cara yang ku anut. Secara sadar maupun tidak. Daya imajinasiku ini ternyata mampu ku jadikan acuan sebagai sumber inspirasi dalam mengembangkan aspirasiku demi membentuk jadi diri yang sebenarnya.
          Puja kepada 'Azza Wa jalla yang mengatur jagat Raya dengan sempurna hingga pada kesempatan ini ku masih mampu mengartikan segala kebesaranNya melalui hati dalam bahasa.
          Tak ada kata kata lagi yang dapat tersusun kecuali hanya berharap penuh agar ungkapan ini dapat berfungsi sebagaimana yang ku ingin, adalah menterjemah hidup yang fana untuk yang baka. Dengan segenap kerendahan hati yang tawadlu', ku akhiri ungkapan ini dengan tetap berpegang penuh pada ketentuan yang telah menjadi garis sunatullah wallahu a'lam bish shawab.
"Alhamdulillah.." gumanku sambil sesekali mereguk kopi hangat yang perlahan membanjiri tenggorokan ini tanpa mesti mempedulikan betapa seriusnya dampak kafein bagi tubuh manusia. Ku Rapikan kertas yang masih terjepit di mesin tik usang yang sempat ku beli di pasar loak bulan lalu. Sisa gaji terakhir ku sebagai karyawan bandel yang tidak pernah kerasan dengan pekerjaan apapun.
"krek.. krek !!" benturan tulang belulangku yang sengaja ku lemaskan karena sedari pagi tadi aku masih terfokus pada kata-kata, syair, puisi, sajak, prosa atau entah dengan istilah lainnya, yang memang sudah sedemikian karibnya menggumuli kehidupanku.
"Aahh .. Astagfirullahal adzim.." kalimat reflekku yang terucap selepas membaca beberapa bait ungkapan karyaku dengan maksud mengembalikan semua fungsi syair kepada pemilik syair yang hak.
          Ku pasrahkan tubuh di atas tikar coklat berbantal kumpulan busa sisa potongan sofa tetangga yang memang berprofesi sebagai pengolah bahan interior, sambil menatap atap yang sedikit tembus bila terserang hantaman air langit tanpa kata-kata. Sejenak mata ini mulai menampakkan tuntutan haknya selaku anggota Indera yang disiplin dan manja.
"In, ada Agus tuch dibawah" teriak suara mama dari dalam kamar di bawah kamarku, menghentikan suasana rileksku sejenak.
"he eh .." sahutku singkat, memperjelas bahwa aku memang tidak pernah mengacuhkan sapaan orang tuaku, meskipun sedikit terpaksa kali ini.
Baru ku anjakkan kakiku menuju anak tangga, kulihat sosok Agus lebih dulu hadir di sana menghentikan niatku.
"Ada apa, Gus?" kurapikan hambal mempersilahkannya duduk bersila bah pertapa Hindustan, atau barangkali Aladin dengan permadani dan gaya duduknya yang khas.
"Tadi aku ketemu Ningsih dijalan, dia menitipkan ini buat kamu." sekedar amplop putih bertulis Wahyu Ningsih.. kusambar dari tangan Agus tanpa menunggu ia menyodorkan kepadaku.
"Srek, srek.." ku koyak sudut kertas yang sudah pasti berisi sepucuk surat dengan berkecamuk tanya di dalam bathin. Entah berita baik, atau sebaliknya.
"Tunggu !!" tukas Agus menghentikan tanganku merogoh isi amplop yang tentunya membuatku semakin penasaran.
"Apa lagi, sih?"
"Gini.." senyumnya memberi isyarat.
"Oke.. jelaskan." ku letakkan amplop tersebut di samping tempat ku duduk dengan tatapan yang masih tertuju pada mimik wajah Agus yang sukar ku tafsirkan.
"Dia cerita banyak tentang kamu, yang aku nggak ngerti apa maksud dari seluruh ucapannya.
"Maksudmu..?"
"Aku tahu, kalau ini sedikit lancang. Ta.."
"Cukup..!!" ku potong ucapannya dengan intonasi suara yang agak sedikit bernuansa underground.
"Aku nggak suka berbelit-belit, jadi, kalau hitam.. katakan hitam, putih bilang putih."
"Tenang ya, In.." tuturnya menetralisir suasanan.
"Afwan, afwan. aku salah, baik, gimana ceritanya?"
sejenak ku tatap raut wajahnya yang entah sudah ke berapa kalinya ia menelan ludah, seperti menahan beban.
"Dia bilang.." kali ini sorot matanya terjatuh di atas hambal biruku, seolah tatapanku memiliki gaya magnet tolak menolak, hingga ia tak sanggup meneruskan ucapannya dengan memfokuskan indera penglihatannya kepadaku.
ku tepuk pundaknya sambil mengelus perlahan.
"Rokok?!" tawarku menyejukkan kekikukan yang ada.
Diambilnya sebatang rokok dan ku nyalakan korek membentuk kepulan asap putih di sekeliling bibirnya. sampai beberapa detik.
"Ningsih.." ungkapnya mengawali
"Kenapa?" sahutku
"Ningsih.. dia, dia tidak menyukai penyair."
"Maksudmu..?"
"Ia takut, bila berpacaran dengan seorang penyair akan dibenci Allah."
"Di benci Allah? Atas dasar apa..??" tanyaku membadai laksana taufan di padang sahara.
"Aku juga gak faham."
"Yaa, kariim, apakah salah hambamu ini?" kali ini ku kirimkan tanya pada Tuhan.
"Cuma itu yang dia katakan?" kembali ku tanya Agus.
"Nggak, katanya kalau ingin lihat penjelasan yang lebih konkrit, sah dan hak, baca surah Yasiin ayat enam puluh sembilan." jelas Agus memperkuat alasan Ningsih.
"Ya.. Allah mengapa lantaran sebab syair yang membuat Ningsing mengambil sikap ini. Bukankah masih ada alasan lain yang pantas ia katakan bila memang ingin berpisah denganku secara baik-baik?" Otakku semakin dihujami anak panah yang berkobaran api teka-teki disetiap mata panahnya. Untungnya, aku masih punya iman dan keteguhan i'tikad, hingga tak sebegitu jauh ku terhanyut ke samudra lepas berombak hati yang pecah.

***

"Mau kemana In?" tanya mama yang sedikit memperdulikanku di sela rutinitasnya menjaga warung kelontong hasil patungan keluarga.
"Kerumah Ningsih sebentar." jawabku sambil menggado kerupuk yang sudah tersedia di toples plastik lalu mencium tangan Mama sebagai isyarat seorang anak yang berbakti.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikum salam."
          Ku pacu pijakan kakiku yang tetap seperti biasanya, sandal jepit biru kesayangan dengan segumpal tanya bahwa saat ini Ningsih ada di rumah atau tidak?
Matahari pagi ini cukup bersahabat, tanpa menggunakan air conditioner pun aku sudah merasa sejuk. Sepertinya hari ini baik bagiku.
Masih dengan sejuta perasaan bersyukur atas nikmat peramu hari yang menyempatkan untuk dapat melihat betapa kokohnya mentari tanpa tiang maupun pngait.
Adalah salah satu kebesaran yang nyata. Subhanallah.
Konsentrasiku terpecah oleh suara parau kernet bus kota yang aktif mengobral ajakannya, sambil sesekali mengusap bibir yang sempat basa bercampur debu-debu metropolitan dengan handuk lusuh yang tersampir di pundak tegapnya. Langkahku kali ini sedikit lebih cepat dari sebelumnya, menyambut lambaian tangan sang kernet seraya melantangkan nyanyian hidupnya. bergelut diantara jutaan aktifitas masing-masing.
Tanpa kata-kata, ku diamkan bangku berderet yang sengaja tersusun dengan terawangku yang semakin tidak menentu.
Mengabaikan ramai, acuhkan hiruk pikuk.
Ku perhatikan sesekali, seorang dara berkerudung putih yang tampak seriusnya membolak-balik catatan keci. Entah berisi apa didalamnya. Tapi, seperti ku kenal buku itu? sedikit hati ini menegaskan sesuatu yang patut diyakini, kumpulan sajak. Ya, memang benar, Chairil Anwar dalam karya terakhirnya "Aku". Sugestiku mulai bermekaran kembali seperti putik-putik mawar yang tumbuh di antara rimbunan ilalang liar.
"Oke selamat pagi menjelang siang, berjumpa kembali bersama kami penyair jalanan. Bermaksud mencoba sejenak berekspresi dengan sekumpulan kata-kata, tanpa ada maksud mengganggu perjalanan anda." tiba-tiba sosok pemuda sederhana dengan rambut ikal mayang sebahu, berdiri di hadapan kami. Membuyarkan naluri masing-masing untuk terpusat pada satu titik fokus..
"Dia".. gayanya yang tak begitu formil, membuat aku tersenyum. Senyum kecil dengan sorot mata yang selalu menjurus pada pose cueknya yang santai.
"Penyair jalanan?" hatiku berguman sendiri.
"Syair.." kata-kata itu mengingatkanku pada kepribadianku yang teramat menyenangi kata-kata indah. tak ku mengerti apakah senyumanku kali ini lantaran penyair jalanan, dara manis berjilbab putih atau karena merasa kehidupanku memang tak begitu asing bagi semua orang. Mendadak senyukmu berubah, bila teringat kembali ungkapan Ningsih lewat suratnya.
"Aku tak ingin hidup lantaran syair", sebab syair adalah sesuatu yang tidak diajarkan Allah kepada Muhammad. Dan ia tidak layak menjadi penyair. "Ukiran tinta itu seakan menudingku dengan seribu satu kesalahan. Aku diam dalam kemelut teka-teki yang belum terjawab. Akun menahan hamtaman kata-kata itu dan tak sedikitpun ada perlawanan berarti. Untung saja, sedari tadi tak ada seorang pun yang memperhatikan raut wajahku. Secara drastis 180° berubah dari sebelumnya.
"Ah persetan!!" ku acuhkan kembali kata-kata Ningsih dan kali ini ku tak ingin terlewat dengan ungkapan sang penyair jalanan. Sebait demi sebaik, bibirnya mengurai maksud tertentu. kalimat demi kalimat, gerakan menterjemahkan sesuatu. Huruf demi huruf, aura wajahnya seperti memancarkan cahaya berbeda.
Ya, pemuda ini berbeda dengan seniman-seniman halanan yang epmiris, yang camping, yang berkesan sembrono, urakan, yang bangga dengan kepribadiannyan sendiri. Amatlah berbeda. ia tampak tenang, berwibawa dan lagipula tidak berkesan menjual syair, yang anehnya.. setiap prosa yang ia tuturkan, selalu mengena kepadaku. Seolah sudah mengerti kecamuk yang ku emban sekarang. Terutama sekali saat ia menuturkan:
     "Aku cinta dengan syair ..
       hanya, dengan syair yang mana aku cinta.
       Tuhan tidak mengajarkan syair padaku saja
       dengan syair yang mana aku di ajarkan
       syairku .. adalah Tuhan."
Aneh benar manusia ini. Sekilas nampak kata-katanya seperti firaun, tapi setahap kemudian penafsiran ini teringat dengan syeikh Siti Djenar dan hanya berselang beberapa menit saja, aku mulai bisa mengerti maksud dari puisi penyair ini, bahwa ungkapannya mirip dengan ekspresi jiwa robi'ah Al Adawiyah. Ya, tokoh sufi yang lahir di dekat kota Basrah, Iraq.
"Cikini.. cikini !!" pekik sang kernet meraung seantero bus. Sadarkan aku pada tujuan utamaku, Ningsih.
          Sebelum turun, kusempatkan sejenak merogoh saku celana yang berisi uang receh. Seribu rupiah, ku selipkan di kantong kemeja penyair tadi. Ia mengangguk perlahan dengan senyum seringai menangkap tatapanku. 
"Syairku, syairmu adalah Tuhan." bisiknya seperti mengisyaratkan sesuatu. Bila bukan karena sudah tiba di tujuan, pastu ku tunggu maksud dari pembicaraannya tadi. Langkahku tergesa menapaki jalan kecil menuju rumah Ningsih.
          Sekumpulan manusia berbusana hitam-hitang berjalan membentuk iringan parade. seperti parade kematian. Betul, usungan jenazah pun nampak di hitamnya bola mataku. Memang sebuah parade kematian.  Siapa? ku tak begitu berminat untuk mengetahuinya.
"Hei, apa yang kulihat?" guman keterkejutanku saat menatap foto 10R berbingkai yang menempel di peti jenazah.
"Tidak mungkin" pekikku dalam menahan pori-pori yang sepertinya memaksa untuk terbuka lebar-lebar. Langkahku berat, tulang belulangku lunglai dan ingin sekali ku rebah di hamparan jalan kecil ini. Ku batalkan niat.


***

"Amin.." serentak suara peziarah mengamini do'a sang pemimpin kubur. 
Pelupuk mata yang bekam berlinang dengan tatapan saya yang kosong membuatku turut larut di dalamnya. Selepas menabur bungan & berdoa, akhirnya mereka pun pergi meninggalkan nisan yang baru saja terpasang tadi.
          Selangkah demi selangkah ku ikuti derap peziarah yang hendak kembali ke rumah dengan duka masing-masing. Posisiku sepuluh langkah dari deretan mereka yang terbelakang. Pandanganku penuh tanya menunduk ke tanah yang kan ku pijak. tak jauh dari tanah pekuburan, kira-kira tuju langkah. Ku temukan selembar uang aneh, seperti uangku tadi yang ku berikan sewaktu...
"Tep!!" sebuah tepukan ringan mendarat di pundak kiriku membaiti soal di hati.
"Maaf, aku sudah memutuskan." tuturnya singkat.
"Ningsih..?!" ku hentikan langkah di hadapannya.
"Iya, aku memperhatikan kamu sejak tadi, hanya saja ku lihat kau begitu serius dengan jenazah sepupuku yang baru saja dikubur."
"Sepupumu?" tanyaku semakin tak terbendung lagi.
"Itulah alasanku, kenapa aku tak ingin ada syair di muka bumi."
"Maksudmu? Aku semakin tidak mengerti?"
"Syair," meneruskan langkahnya tanpa memperdulikanku. "Yang membuat orang sombong, lupa diri, takabbbur dan mudah memperbandingkan kebesaran yang mestinya tidak pantas untuk diperbandingkan." jelasnya.
"Lalu apa hubungannya dengan sepupumu itu? Pendaman keras di benakku serasa ingin ku muntahkan semua.
"Tiga hari sebelum ia meninggal. kata-kata yang diucapkannya hanyalah syair, syair dan syair."
"Oya?!"
"Satu kata terakhir yang dia ucapkan.."
"Apa?"
"Syairku.. adalah Tuhan." Katanya menampar setiap kulitku. Sepertinya aku belum lupa kata-kata ini.   Jenazah itu, ya, jenazah itu belum lama memberikan kata-kata itu. Lalu, uang ini .. uang yang baru saja ku berikan padanya. Penyair muda yang mencintai Tuhannya. Benar-benar peristiwa yang ganjil.
           Ningsih meninggalkanku sendiri bergelut dengan lamunan, diantara nisan-nisan tua. Ku tak berniat mengejarnya. Sejenak ku simpan saja cerita penyair yang sekarang ada di dalam kubur itu, dan biarlah ku bawa kata-kata terakhirnya bersamaku sebagai persembahan puja kepada Allah. Barangkali hanya aku, penyair ini dan Tuhan yang mengerti bahwa syairku... adalah TUHAN

Forum Sastra

  © Lokananta Sastra Dirancang oleh Indra eL wi Djenar 2010

Balik ke Atas